REALITA KEHIDUPAN SEORANG PEMULUNG

Pekerjaannya mencari barang bekas, membuat sebagian besar orang menganggap remeh pemulung. Bagaimana tidak? Mereka mengorek tempat sampah untuk mendapatkan barang bekas yang masih memiliki nilai jual. Namun, berkat kehadirannya pula, lingkungan dapat terbebas dari barang bekas yang bila dibiarkan bisa menjadi sampah. Mereka juga membantu pemerintah dalam mengelola sampah. Tak hanya itu, hasil pekerjaannya mereka juga menjadi tumpuan bagi keluarganya.

FAUZI ALBANTANI – Serang

Selepas subuh, saat aktivitas masih sepi, tempat-tempat yang ramai pada siang atau malam hari di Serang dipenuhi pemulung yang berburu barang bekas. Suasana ini terlihat di kawasan Pasar Lama dan Pasar Rau. Mereka memungut apa saja yang masih bisa dijual, yang tercecer di jalan. Bermodalkan karung yang dipanggul, mereka memungut kardus, plastik atom, atau besi jika ada.
Tak hanya itu, mereka juga tidak sungkan-sungkan mengorek tempat sampah yang mengeluarkan aroma yang tak sedap. Dengan teliti, pemulung mengambil barang bekas jika ada. Jika tidak ada, mereka beranjak ke tempat sampah lainnya sambil berharap dapat menemukan barang bekas yang dapat dijual kembali.
Sekarung, mereka dapat membawa 5 hingga 15 kilogram setiap hari. Dalam sekejap, jalanan yang biasanya ramai itu tampak terbebas dari sampah yang kardus atau plastik.
Selain menggunakan karung, ada juga pemulung yang menggunakan gerobak mirip becak. Namun, untuk berburu barang bekas, mereka tak hanya berkeliling mencari di jalan. Tapi juga kerap menawarkan ke rumah-rumah warga yang memiliki barang bekas. Mereka menawar kardus, plastik, atau besi yang dimiliki warga dengan cara membeli. Untuk kardus, pemulung menawarkan dengan harga Rp 500 per kilogram. Plastik, mereka menawar dengan harga kurang lebih Rp 1.000 per kilogram. Sedangkan besi, mereka berani membeli dengan harga Rp 1.000 per kilogram.
Tidak hanya membeli, dalam mencari barang bekas, mereka juga kerap menawarkan dengan cara barter. Mereka sering menawarkan barang bekas dengan menukarnya dengan minyak tanah atau bahan-bahan dapur, seperti bawang merah.
Tak sampai sehari penuh, jika gerobaknya sudah dirasa penuh dengan barang bekas, pemulung menghentikan aktivitasnya. Artinya, barang buruannya yang terkumpul itu dapat menghasilkan uang lumayan untuk menyambung hidup.
“Kayaknya saya bisa dapat Rp 50 ribu,” ungkap Yasin (22) pemulung yang tinggal di kampung Gempol, Kramatwatu, tanpa menyebutkan berapa kilogram barang bekas yang diperolehnya.
Menurutnya, ia mendapatkan barang bekas dengan berkeliling ke perumahan-perumahan yang ada di kawasan Serdang, Kramatwatu hingga Waringinkurung. Kawasan ini menjadi favorit karena setiap harinya barang yang dicari Yasin banyak terdapat di kawasan itu. Selain itu, di kawasan tersebut, Yasin sudah dikenal warga setempat.
“Saya biasa ngeloroh (memungut barang bekas-red) di sana, karena sudah kenal dengan warga di sana. Satpam yang bertugas di sana juga baik-baik, karena mempermudah saya masuk ke perumahan,” ungkap Yasin, yang sedang beristirahat di bawah pohon rindang di pinggir Jalan Raya Serang-Cilegon.
Setelah dirasa cukup beristirahat, Yasin bergegas menuju lapak barang bekas untuk menjual barang buruannya itu. Setelah sampai ia langsung menurunkan bawaannya, kemudian dikelompokan sesuai dengan jenisnya, seperti kardus ia kumpulkan bersama kardus yang lain menjadi satu.

Lapak Barang Bekas
Sekira pukul 16.00 WIB, biasanya lapak barang bekas dipenuhi antrean pemulung yang siap menjual barang buruannya. Seperti yang terlihat di lapak barang bekas milik Suryana (26) di Kemang Serang. Menurutnya, sehari lapaknya menampung sekitar 8 kwintal atau sepadan dengan 800 kilogram barang bekas yang didapat pemulung. Dari jumlah tersebut, Suryana mengantongi untung hingga Rp 400 ribu. Dari keuntunganya itu, Suryana dapat menghidupi keluarganya dan 5 orang karyawan.
Setelah terkumpul melebihi 1 ton, Suryana langsung mengirim barang bekas sesuai dengan jenisnya ke pabrik-pabrik daur ulang di Jakarta. “Kalau sudah banyak, langsung di kirim ke Jakarta. Biasanya setelah mengirim lapak kami jadi bersih tanpa tersisa. Namun, sampai sekarang, saya ngirim dengan menyewa mobil, maklum saya belum punya mobil losbak,” katanya.

Lingkungan Jadi Bersih
Yasin dan Suryana salah satu contoh orang yang berpenghasilan dari barang bekas. Namun, dengan pekerjaannya itu, sekaligus mereka ikut andil menjaga lingkungan. Bagaimana tidak. Barang bekas yang sudah tidak terpakai, pasti dibuang oleh pemiliknya. Tak jarang, warga juga kerap membuang barang bekas sembarangan. Sehingga lingkungan menjadi kotor dan tak sedap dipandang mata.
Dari warga sendiri banyak merasa terbantu dengan kehadiran mereka, salah satunya Kurniasih yang tinggal di perumahan Pasir Indah Serang. Menurutnya, jika kardus atau plastik yang dibuang ke tempat sampah tidak diambil kembali petugas kebersihan, maka sampah menjadi menumpuk. Dan akhirnya tercecer hingga ke jalan. “Justru mereka juga membantu kita dalam hal permasalahan sampah,” ungkapnya.
Kurniasih pun sering memberikan langsung barang bekas yang tidak terpakai kepada pemulung. “Kadang-kadang barang bekas saya kumpulkan di gudang. Kalau ada pemulung saya kasih, tapi kalau besi saya jual ke mereka,” tambahnya.
Walau begitu, banyak juga warga yang tidak senang dengan keberadaan mereka, salah satunya Nurhayati, warga Taman Purnabhakti Taktakan. Menurutnya, pemulung terkadang sembarangan dalam mencari barang bekas. Sehingga, bukannya jadi bersih, malah menjadi lingkungan menjadi kotor dan sampah menjadi tercecer. “Kalau ngorek-ngorek tempat sampah, kadang mereka sering ngacak-ngacak,” ungkap ibu rumah tangga ini.
Selain itu, mereka juga kerap mengambil barang yang masih terpakai diam-diam. “Waktu itu, jemuran saya pernah hilang, kemungkinan diambil pemulung. Karena sebelum saya tahu jemuran hilang, saya melihat pemulung berada di dekat rumah saya,” tambahnya.(***)



Putus Sekolah Karena Tidak Mampu

Dengan langkah lunglai sambil memanggul karung setengah terisi di pundak kanan, Rusli (15) menuju rumahnya di Pegadingan, Kramatwatu. Di teras rumahnya, bocah kuyu ini membongkar isi karung. Satu per satu barang bekas dalam karung dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Kardus, plastik atom, dan besi dipisahkan.
Hari itu (28/08), Rusli tampak tidak puas dengan hasil buruannya. Maklum saja, karung yang dibawanya hanya terisi setengah. Padahal, sudah seharian ia berkeliling di kawasan Cilegon.
“Hari ini barang bekasnya sedikit, mungkin sudah keduluan orang lain (pemulung-red),” keluhnya, sembari mengipas-ngipas tubuhnya dengan secarik kertas.
Tampaknya, ia menunda menyetor barang buruannya ke lapak yang tidak jauh dari rumahnya. Pasalnya, jika dijual uang yang didapat sedikit. “Saya kumpulin dulu biar banyak, besok baru saya jual,” katanya.
Begitulah keseharian Rusli. Pekerjaannya ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari hasil jerih payahnya itu, ia dapat membantu orangtua dan tiga adiknya yang masih kecil.
“Saya jadi pemulung, karena tidak ada lagi yang bisa saya kerjakan. Ini saya lakukan untuk membantu keluarga, karena ibu saya hanya dagang kecil-kecilan,” ucapnya.
Sayangnya, Rusli kini tidak lagi bersekolah. Menurutnya, ia putus sekolah sejak lulus SD. Alasannya, orangtuanya tidak mampu membiayai biaya sekolahnya. Kini, ibunya hanya mampu menanggung biaya sekolah adik-adiknya yang masih SD.
“Bapak saya sudah tidak ada, penghasilan ibu tidak cukup untuk biaya sekolah. Mau tidak mau saya ngalah tidak melanjutkan sekolah,” ungkapnya.
Sebenarnya, pilihannya ini berat. Ia merasa iri melihat teman-teman sebayanya yang masih sekolah. Apalagi kelak persaingan hidup begitu ketat. Apalah arti ijazah SD saat ini. Bahkan, kini ia merasa malu menjadi pemulung, karena kerap dianggap remeh oleh orang. “Sebenarnya saya tidak mau jadi pemulung, abis sering diolok-olok sih,” tuturnya.
Ia memiliki angan-angan seperti kebanyakan anak-anak sebayanya yang memiliki cita-cita setinggi langit. Namun, cita-citanya tidak muluk, ia punya keinginan menjadi karyawan di sebuah perusahaan. “Kalau saya masih sekolah, saya mau menamatkan hingga STM. Setelah itu saya ingin menjadi karyawan di pabrik besar,” katanya.
Rusli hanya salah satu anak yang putus sekolah dan terpaksa bekerja menjadi pemulung. Masih banyak anak yang seperti Rusli, khususnya di Serang. Walau pekerjaan memulung adalah pilihan yang mutlak, mereka memiliki cita-cita tinggi. Keberadaan mereka juga bermanfaat bagi masyarakat. Dengan memungut barang bekas, setidaknya kebersihan lingkungan terbantu, karena barang bekas yang tidak sedap dipandang mata dan tidak bermanfaat bagi masyarakat tidak menjadi sampah di lingkungan tempat tinggal masyarakat.(fauzi)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " "